Mengolah suatu yang kita dapat itu penting

| Minggu, 26 November 2017 |
source: batoehijau.blogspot.com

Akhir-akhir ini kita seringkali terjebak akan suatu isu isu fitnah murahan, istilah kerennya "hoax", yang tentunya belum tentu benar, dan seringkali karena kepolosan kita akhirnya secara tidak langsung menganggap hal tersebut menjadi suatu kebenaran. Seperti kata mbah Goebels menteri propaganda Nazi, suatu hal yang keliru akan menjadi kebenaran umum jika hal tersebut sering dihembuskan secara masif.  Untungnya kita oleh Yang Maha Kuasa diciptakan dan dibekali sebagai manusia yang berakal waras, maka penting sekali ketika kita menghadapi suatu problem ataupun masalah perlu menganalisis 
dan mencari kebenarannya menggunakan logika.


Seperti yang kita tahu kalimat dibangun oleh susunan kata-kata. Bila susunan kata itu tak rapi, tak punya makna, ia bukan kalimat. Kata-kata yang disusun itu kelak dapat membentuk pernyataan, pertanyaan, perintah atau permintaan. Dari keempat itu, hanya pernyataan (proposisi) saja yang punya nilai benar atau salah. Nilai ini hanya boleh dimiliki satu saja pada satu kesempatan. Artinya, benar dan salah tidak bisa secara serempak bebarengan menjadi nilai sebuah pernyataan. Benar ya benar kalau salah ya salah.

Dalam khasanah ilmu, “pernyataan” ini lebih dikenal sebagai “teori”. Karenanya, perdebatan dalam lapangan ilmu hakikatnya merupakan perdebatan apakah pernyataan itu memiliki nilai benar atau salah. Ramai perdebatan ini bermula sejak era ribuan tahun lampau hingga kini. Ada nama-nama Mbah Plato, Mbah Aristoteles, Mbah Al Kindi, Mbah Bacon, Mbah Pierce, Mbah Russel, Mbah Whitehead dan mbah-mbah yang lain.

Pernyataan “Semua manusia akan mati” dan “Sego Pecel Mak Par lebih enak dari sego pecel Yu Sutini” dapat memiliki nilai benar atau salah. Tentu saja, sebelum menyematkan nilai “benar” atau “salah”, perlu diupayakan penelitian terhadap pernyataan itu.
Ikhtiar ini dapat ditilik dalam buku macam “Filsafat ilmu, sebuah pengantar populer” yang ditulis Jujun S. Suriasumantri.

Ada 3 kriteria buat meneliti suatu pernyataan, apakah ia benar atau salah. Tiga kriteria itu yakni teori koherensi, teori korespondensi dan teori pragmatis.

Menurut teori koherensi, pernyataan akan dianggap benar jika pernyataan tersebut bersifat koheren (bertalian secara logis) atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Teori ini dikembangkan oleh para filosof Yunani, Mbah Plato dan Mbah Aristoteles, juga Mbah Euclides. Ini adalah cara pikir deduktif.

Dalam pandangan teori korespondensi, nilai kebenaran pernyataan dilihat dari materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut apakah berkorespondensi dengan objek yang dituju atau tidak. Misalnya, Ibu kota Indonesia adalah Jakarta. Ini pernyataan yang benar sebab pernyataan itu berkorespondensi dengan kenyataan. Cara pikir macam ini dikenal sebagai cara pikir induktif.

Dua pandangan di atas berbeda dengan teori pragmatis ala Mbah Pierce. Menurut teori ini, nilai benar atau salah akan ditemukan dalam konsekuensinya dalam tindakan. Jadi, pernyataan akan benar jika pernyataan itu punya guna praktis dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, sebuah pernyataan yang dulu bernilai benar, suatu waktu, ketika ia sudah tak lagi fungsional akan dianggap sebagai pernyataan yang salah.

Sekali lagi, pernyataan hanya dapat bernilai satu, yaitu pernyataan hal yang benar atau pernyataan hal yang salah.

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang GSNI

GSNI atau Gerakan Siswa Nasional Indonesia adalah organisasi beraliran nasionalis yang berazaskan Marhaenisme, organisasi kesiswaan ini setia mengawal ajaran Bung Karno yaitu Marhaenisme... Ketahui Selengkapnya..
 
Copyright © 2016 Gerakan Siswa Nasional Indonesia Tulungagung Official Site, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger