Sebelum kita masuk terlalu dalam pada seputar Marhaen, setidak-tidaknya kita harus mengenal dulu sejarah singkatnya, dan kenapa muncul istilah nama tersebut.
Umur 20 tahun, ilham politik menguat pada alam fikiran Bung Karno. Kepekaannya pada kondisi masyarakat atas landasan teori yang dia pelajari sebelumnya membuat dia resah melihat apa yang telah terjadi pada rakyatnya.
Di tempat kelahirannya, Bung melihat tidak banyak dari rakyatnya menjadi pekerja untuk dirinya sendiri, bahkan menurut dirinya lebih miskin daripada tikus-tikus gereja.
Soal kondisi rakyat yang direnungkan Bung Karno sangat menyedihkan, dan sulit sekali bisa bangkit mandiri secara ekonomi, berdaulat dibidang politik, serta berkepribadian dalam budaya. Tetapi yang sangat menjanggal dari mereka karena semuanya ada dan dimiliki olehnya. Semisal; grobak, cangkul, tanah, tongkat-kail, dan semua peralatan yang meraka punyai. Mereka tidak pernah bekerja kepada orang lain, dan tidak juga mempekerjakan orang lain. Mereka menjadi majikan untuk dirinya sendiri.
Bagi Bung Karno rakyat tersebut sama sekali bukanlah proletar sebagaimana dalam ajaran Maxisme. Mereka dekat dengan kita, bahkan mungkin kita sendiri bagian dari mereka, juga bisa jadi adalah bapak dan ibu kita. Rakyat itulah yang dipikirkan oleh Bung Karno siang dan malam, bahkan berbulan-bulan.
Pada suatu hari, Bung Karno berjalan-jalan memakai sepeda ontel sampai keselatan kota Bandung dengan tanpa tujuan yang pasti. Disanalah Bung Karno melihat seorang petani lagi sedang mencangkul sawahnya, dan masing-masing sawah tersebut kurang lebih berukuran sepertiga hektar. Saat Bung Karno melihat seorang petani yang lagi sedang mencangkul tanah miliknya. Bung Karno juga melihat pakaiannya sudah lusuh, saat itulah Bung Karno melihatnya sambil diam berdiri, kemudian setelah itu Bung Karno mendekatinya, dan terjadi dialog antara Bung Karno dengan si petani tersebut, hal itu pernah dikisahkan dalam otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams dengan judul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
”Siapa pemilik tanah yang kau garap ini?,” tanya Sukarno.
”Saya, Juragan,” jawab sang petani.
”Apakah kau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?”
”Oh tidak. Gan. Saya memilikinya sendiri”
”Apa kau membeli tanah ini?”
”Tidak. Tanah ini diwariskan secara turun temurun dari orang tua saya”
”Bagaimana dengan sekopmu? Milikmu juga?”
”Ya, Gan”
”Dan cangkul itu?”
”Milik saya juga, Gan”
”Bajak?”
“Juga milik saya”
”Lalu hasilnya untuk siapa?”
”Untuk saya, Gan”
”Apakah hasilnya cukup untuk kebutuhanmu?”
”Bagaimana mungkin sawah yang begitu sempit ini bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan seorang istri dan empat anak?”
“Tapi semua ini milikmu?”
”Ya, Gan”.[1]
Pertanyaan Bung Karno semakin mendalam saat itu, sehingga dia teringat pada apa yang dipelajari dalam teorinya, sebagaimana ahli ekonomi pernah menyebutkan “penderita menimum”.
Pertanyaan Bung Karno dengan si petani tersebut masih belum usai. Bung Karno sambil menyaring apa yang ada dalam fikirannya. Alhasil Bung Karno bertanya pada si petani tersebut:
”Siapa namamu?”
”Marhaen”.[2]
Saat pertemuan itulah istilah Marhaen muncul sebagai lambang bagi setiap orang yang bernasib sama dengan orang tersebut. Bung Karno menamakan orang yang bernasib malang, melarat, dan tertindas dengan sebutan Marhaen.
Setelah pertemuan itu, Bung Karno mengambil sepeda ontelnya dan berkeliling sambil mengelola pengertian baru yang dia dapat dengan si Marhaen. Dan pada waktu malamnya Bung Karno memberikan indoktrinasi terhadap kawan-kawan perkumpulannya tentang pertemuan Bung Karno dengan si petani miskin yang punya sedikit bidang tanah tersebut, dan memberikan penjelasan pada apa yang terjadi pada si Marhaen itu.
Nama Marhaen itulah yang menjadi asal muasal ideologi Marhaenisme muncul, bahkan menjadi suatu ajaran dan azas perjuangan di tubuh Partai Nasional Indonesia-Marhaenisme (PNI), Partai Indonesia (Partindo), dan Partai Rakyat Malaya (PRM) di Malaysia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan juga Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI).
Bung Marhaen menjadi identitas yang melambangkan kelas melarat. Jadi, jika ditanya, apa yang memungkinkan Soekarno mengelaborasi Marhaenisme? Tentu saja jawabannya, tidak bisa lain: Marhaen[3].
Dengan lahirnya istilah Marhaen nama rakyat yang tertindas semakin terangkat menjadi garda terdepan penyebutan Bung Karno dalam gerakannya, bahkan dengan sebutan tersebut tumbaslah sistem koloianlisme, dan feodalisme di Indonesia hingga tercapailah pada pintu gerbang kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Peran Marhaen dan ideologi Marhaenisme sangat besar untuk Indonesia, dan itu terbukti dengan gerakan-gerakan PNI dan Partindo. Maka dengan ini perlu kiranya daripada kita sebagai rakyat Indonesia mempelajari sejarah yang selama ini tidak banyak kita ketahui, karena ditutup oleh Erde Baru (Orba), dengan disinggungkannya dengan ajaran murni Marxisme-Komunisme.
Sebenarnya tentang Marhaen, sudah banyak ditulis oleh para sejarawan dan para aktivis tentang apa dan siapa dia, dengan ini Bung Mastono pernah menuliskan. Marhaen yang dimaksud tidak hanya sebatas yang telah diceritakan oleh Soekarno dalam Penyambung Lidah Rakyat, yang mendifinisikan Marhaen sebagai petani yang memiliki sedikit alat produksi tapi dimiskinkan oleh sistem[4]. Sebenarnya Bung Karno memberikan istilah yang mudah untuk dipahami oleh segenap rakyat Indonesia, karena jika dijelaskan secara teoritis bisa akan menjadi jelimetbagi rakyat bawah.
Petani, nelayan, tukang becak, tukang sayur, dan kaum melarat lain-lain mungkin sulit bisa mencerna dan memahami tentang apa dan siapa dirinya, maka dengan ini Bung Karno menjelaskan dalam buku yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, Maxisme tentang penjelasan apa yang disebut Marhaen. Dalam judul Marhaen dan Proletar, Bung Karno menjelaskan di poin kedua yang berbunyi. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat, dan kaum melarat Indonesia yang lainnya[5]. Dengan ini dapat kita ketahui, bahwa yang disebut Marhaen oleh Bung Karno pada posisi:
pertama adalah kelompok proletar Indonesia
kedua adalah petani yang melarat
ketiga adalah kaum melarat lainnya. Adapun kaum melarat lainnya antara lain; Tukang becak, tukang sayur, penjual pentol, dan masih banyak yang lain. Setelah kita mengetahui kelas-kelas Marhaen diatas, mungkin juga kita masih juga bertanya-tanya, lalu mengapa dan kenapa kita bisa dikatagorikan sebagai Marhaen? Dalam hal ini kita akan dapat mungkin, insyaallah mengeti dan faham kenapa kita disebut Marhen. Marhaen adalah pemilik produksi kecil-kecilan, yang tidak mempekerjakan orang lain, dan hasil produksinya hanya untuk kebutuhan sendiri. Mereka meliputi petani kecil/gurem, pedagang kecil, dan produsen kecil[6].
Tapi sayang sekali Marhaen yang punya alat produksi, tidak bekerja, dan tidak bekerja sama orang lain masih dalam kaadaan melarat, padahal mereka punya semua yang mereka perlukan, tentu hal ini ada yang keliru dalam yang terdapat dalam sistem. Maka dengan itu disusunlah cara perjuangan dan azas perjuangan Mahaenisme untuk melawan sistem-sistem yang berusaha memiskinkan kaum Marhaen. Marhaenisme adalah cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme[7].
Marhaenisme adalah azas yang mengendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang didalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen[8]. Dengan demikian kita bisa mengerti, bahwa susunan masyarakat dan negeri bisa akan dapat berhasil jika kaum Marhaen dapat keluar dari keresahan eksploitasi, cara-cara riba, atau meerwaarde dari sistem kapitalisme dan imperialisme.
Marhaen adalah sebuah istilah yang diberikan oleh Bung Karno untuk menamakan semua masyarakat yang melarat dan dimelaratkan oleh sistem kapitalisme, imperilisme, dan feodalise. Marhaen adalah kelompok dengan alat produksi kecil. Mereka tidak bekerja kepada orang lain dan tidak mempekerjakan orang lain. Mereka bekerja untuk dirinya sendiri, namun tetap masih miskin. Maka dengan ini perlu kita ketahui bersama-sama, bahwa dibalik kemiskinan dan kemelaratan si Marhaen ada, dan terdapat suatu sistem yang mencoba memiskinkannya seperti yang saya sebutkan diatas.
Bung Karno pernah berpesan: Pergerakan kaum Marhaen tidak akan menang, jika tidak sebagian daripada pergerakan Marhaen itu diadakan barisan “buruh, dan serikat kerja” yang kokoh dan berani. Camkanlah ajaran ini, kerjakanlah ajaran ini!.
Bangunkanlah barisan “buruh dan sekerja” itu, bangkitkanlah semangat dan keinsyafan, susunkanlah semua tenaganya! Pergerakan politik-Marhaen-umum adalah perlu, partai-pelopor Marhaen-umum adalah perlu, sarekat tani adalah perlu, tetapi sarekat buruh-dan-kerja perlu, amat perlu, teramat perlu, maha perlu dengan tiada hingganya![9].
Semoga pak Marhaen sekeluarga tenang di Alam sana, dan amalnya diterima di sisi-Nya, amiin.. (red.)
[1] Hendi Jo, Kisah Kang Aeng Dan Bung Karno, https://historia.id/, 14 maret 2018, 18:00
[2] Ibid
[3] Mastono, Penghianatan Marhaenis Terhadap Marhaenisme: Sebuah Kesaksian, https://indoprogress.com, 22 Maret 2016.
[4] Ibid
[5] Ir. Soekarno, Nasionalisme, Islamisme, Marxisme, (Bandung: SEGA ARSY, 2015), hal 139
[6] Rudi Hartono, Tiga Komponen Marhaenisme, http://www.berdikarionline.com, 30 Juni 2015, 21:57
[7] Ir. Soekarno, Nasionalisme, Islamisme, Marxisme, (Bandung: SEGA ARSY, 2015), hal 140
[8] Ibid, hal. 140
[9] Ibid, hal. 145
Kenali kami di GSNI TULUNGAGUNG! .
2 komentar:
Saya menumbang ini, mungkin bisa dijdikan sumber.
https://cabarus.com/faidi-ansori/dari-marhaen-ke-pikiran-si-bung/
Posting Komentar